Senin, 13 Februari 2012

Supriono, Pemulung yang Menggendong Mayat Anaknya


Sri Suwarni, warga Manggarai, Jakarta Selatan, terkejut bukan kepalang. Kakinya gemetar. Supriono, pria yang pernah mengontrak rumah petaknya, bertandang secara tiba-tiba dengan cara aneh, menggendong mayat anaknya. Supriono yang sehari-hari berprofesi sebagai pemulung itu mengaku kebingungan mencari tempat untuk mengubur anaknya. "Bude, saya mau minta tolong," kata Supriono kepada Sri, pada sebuah maghrib hari Minggu, 5 Juni 2011 lalu.

Awalnya, Sri mengira anak dalam gendongan Supriono itu tidur lelap. Apalagi Supriono, pria asal Muntilan, Jawa Tengah, itu menggendong mayat Nur Khaerunisa, anaknya, seolah sedang menina-bobokan. "Saya pikir dia mau jalan-jalan dan butuh ongkos," kata Sri. Ia jadi lemas ketika dijelaskan bahwa anak dalam gendongan itu telah menjadi mayat.

Pertemuan Supriono dengan Sri itu merupakan akhir drama memilukan yang dialami pemulung kardus dan botol plastik bekas itu. Sekaligus menjadi akhir kisah sedih Supriono sepanjang hari, menyusuri jalan-jalan Jakarta dengan menggendong anaknya yang telah tiada. Tanpa diminta, Supriono pun bercerita kepada Sri Suwarni.

Awal Juni 2011 adalah awal dari kegundahan Supriono. Anak bungsunya, Nur Khaerunisa, sedang sakit muntaber, sementara biaya berobat tidak ada. "Saya hanya membawanya sekali ke puskesmas, dokter menyuruh rawat inap, tapi saya tidak punya uang," kata Supriono. Apa boleh buat, tubuh kecil tidak berdaya itu meringkuk di gerobak berukuran sekitar 2 meter persegi, berbaur dengan kardus dan botol plastik bekas. Dalam kondisi seperti itu, Khaerunisa masih dibawa ayahnya bekerja memungut barang-barang bekas.

Sebenarnya, dokter di puskesmas Setiabudi, Jakarta Pusat, meminta Supriono membawa kembali anaknya untuk berobat. Kemelaratan yang mendera keluarga pemulung itu membuat sang ayah menolak anjuran dokter. Sekali berobat ke puskesmas, dia harus membayar Rp 4.000. Meski biaya berobat itu sama dengan ongkos 2 jam parkir mobil di Jakarta, Supriono tetap tidak sanggup membayarnya.

Sebagai pemulung, penghasilannya sekitar Rp.10 ribu per hari. Uang itu hanya cukup untuk biaya makan dia dan dua anaknya, Muriski Saleh dan Nur Khaerunisa. Bagaimana bisa mengobati anak, apalagi sampai menungguinya di puskesmas? Pekerjaan pemulung harus tetap dijalani. Khaerunisa yang lemas kesakitan terpaksa pulang dengan dibawa dalam gerobak, sesekali dicandai oleh kakaknya, Muriski Saleh.


Allah SWT rupanya turun tangan menyelamatkan gadis cilik tak berdosa ini. Setelah empat hari meringkuk dalam gerobak, Khaerunisa dipanggil menghadap-Nya. Pukul 07.00 pagi di hari Minggu, bocah berumur 3 tahun itu mengembuskan napas terakhirnya disebuah gerobak tua di bawah kereta layang di kawasan Cikini. Supriono berkabung, Muriski tak tahu adiknya telah tiada. Ia hanya melihat orang-orang sibuk lalu-lalang seperti biasa.

Supriono merogoh saku bajunya. Ada sedikit uang tersisa, tapi tak sampai Rp 10.000. "Jangankan menguburkan anak, untuk membeli kain kafan saja saya tidak mampu," katanya. Kemiskinan membuat Supriono nekat ingin membawa mayat si bungsu ke Kampung Kramat, Bogor, menggunakan kereta rel listrik (KRL) Jabotabek. Di sana, sebuah lokasi tempat kaumnya para pemulung bermukim, dia berharap mendapat bantuan penguburan. “Jakarta tak memungkinkan hal itu,” begitu terlintas dalam pikiran Supriono.

Mayat si bungsu pun dibawa menggunakan gerobak, alat kerja sekaligus tempat tidur kedua anaknya setiap hari. Dia menyusuri Jalan Cikini, Manggarai, menuju Stasiun Tebet. Mendekati stasiun, Khaerunisa dibopong menggunakan kain sarung layaknya menggendong anak yang masih hidup. Agar tidak terlihat sudah meninggal, wajah gadis mungil itu ditutup dengan kaus. Sementara itu tangan yang lainnya menuntun Muriski Saleh, bocah 6 tahun.

Melihat pria menggendong anak dengan muka tertutup, seorang pedagang minuman iseng bertanya. "Saya jawab anak saya sudah mati dan akan dibawa ke Bogor," kata Supriono berterus-terang. Kejujuran ini membawa celaka, calon penumpang lain yang mendengar jawaban itu sontak geger. Hari gini gendong mayat naik KRL? Supriono pun digelandang bak pesakitan ke kantor polisi Tebet.

Supriono lalu diperiksa di Polsek Tebet. Lebih dari empat jam Duda cerai dengan Sariyem itu diinterogasi aparat. Kesimpulannya, polisi tetap curiga, lalu memutuskan mengirim mayat Khaerunisa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Supriono tunduk dan menyerah. Tetapi di kamar mayat RSCM, dia menolak tegas anaknya diotopsi. Masalahnya, ia tidak punya uang untuk biaya otopsi itu, selain dia kasihan melihat mayat putrinya yang sudah tenang dibedah. Tubuh kaku Khaerunisa akhirnya tidak jadi dibedah, namun Supriono meneken surat pernyataan penolakan otopsi.

Aneh bin ajaib (atau karena Supriono seorang pemulung), mayat kecil itu diperbolehkan dibawa keluar rumah sakit dengan cara digendong. Ke mana sang anak harus dikuburkan? Pertanyaan itu menghujani pikiran Supriono. Dalam keadaan bingung, ia membopong mayat anaknya ke jalanan. Sejumlah sopir ambulans sempat menawarkan jasa untuk mengangkut mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta berarti uang. Sopir ambulans mengurungkan jasa itu begitu mendengar Supriono tidak punya uang untuk membayarnya.

Para pedagang sekitar RSCM yang menyaksikan Supriono, dan beberapa orang yang kebetulan ada di trotoar, mulai urunan memberi uang sekadarnya untuk Supriono. Lalu Supriono memanggil sopir bajaj. Tiba-tiba ia teringat Sri Suwarni, pemilik rumah petak yang pernah disewanya beberapa tahun lalu. Bajaj pun meluncur ke Jalan Manggarai Utara VI, Jakarta Selatan, rumah petak Ibu Sri.


Sri meneteskan air mata. Perempuan mana yang tidak menangis mendengar kisah sedih itu? Tubuh mungil dalam balutan kain sarung warna merah kekuningan itu lantas direngkuh dari dekapan Supriono. Mayat itu lalu dibaringkan di atas kasur tipis yang berada di ruang tamu rumahnya. Wanita berusia 40 tahun itu lalu meminta bantuan tetangganya. Warga setempat akhirnya dengan tulus urunan membantu mengurus jenazah, ada yang membeli kain kafan, ada yang memasang bendera kuning di sudut-sudut gang, ada yang berdoa dan memandikan. Keesokan harinya, putri bungsu Supriono dimakamkan di Blok A6 No. 3 Taman Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo. Putri kecil itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang, diantar orang-orang miskin yang kaya amal.
 
Allah Ta'ala berfirman :
"Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)" (QS Al-Baqarah 272)